Hari itu, di tahun gajah
Bulan Rabiul Awal hari kedua belas
Semesta beryukur kepada Tuhan
Atas turunnya seseorang
Tak hanya rasul, ialah pemimpin atas segala makhluk Tuhan
Pembawa rahmat dan berkah
Pengiring cahaya Ilahi menuju kedamaian abadi
Pembawa nurulhuda dari lauhulmahfudz
Penyampai pesan nan mulia
Ialah jiwa yang suci, Rasulullah Muhammad Saw.
Peringatan Maulid atau hari lahir Nabi Muhammad SAW, harus dapat
dimaknai sebagai momentum untuk memperbaiki perilaku guna mendapatkan
predikat "akhlakul karimah" atau akhlak yang mulia.
Peringatan dalam berbagai bentuk kegiatan selama ini tidak yang
dilaksanakan di berbagai daerah menjadi masalah, jika tujuan utama
kedatangan Nabi Muhammad SAW diamalkan. Namun, jika peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW tidak diiringi dengan perbaikan dan penyempurnaan
akhlak, maka kegiatan tersebut sekadar acara seremonial.
Syaikh Athiyah mejelaskan urutan sejarah Maulid sebagai berikut:
Pertama:
Di Mesir. Orang-orang Dinasti Fathimiyyah merayakan berbagai macam
Maulid untuk ahlul bait. Yang pertama kali melakukan adalah Al Muiz
Lidinillah (341-365H) pada tahun 362 H. Mereka juga merayakan Maulid Isa
(natalan) sebagaimana dikatakan oleh Al Maqrizi as-Syafi’i dalam kitab As Suluk Limakrifati Dualil Muluk.
Kemudian Maulid Nabi- begitu pula Maulid-Maulid yang lain- pada tahun
488 H karena Khalifah Al Musta’li Billah mengangkat Al Afdhal Syahinsyah
ibn Amirul Juyusy Badr Al Jamali sebagai mentri. Ia adalah orang kuat
yang tidak menentang ahlus sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
Atsir dalam kitabnya Al Kamil: 5/302. Hal ini berlangsung hingga
kementerian diganti oleh Al Makmun Al Bathaihi, lalu ia mengeluarkan
instruksi untuk melepas shadaqah (zakat) pada tanggal 13 Rabiul Awal 517
H, dan pembagiannya dilaksanakan oleh Sanaul Malik.
Kedua:
Di Mesir. Ketika datang Dinasti Ayyubiyah (yang dimulai pada saat
Shalahuddin Al Ayyubi menggulingkan khalifah Fathimiyyah terakhir Al
Adhidh Lidinillah pada tahun 567 H/ 1171 M) maka dibatalkanlah semua
pengaruh kaum Fatimiyyin di seluruh wilayah negara Ayyubiyah, kecuali
Raja Muzhaffar yang menikahi saudari Shalahuddin Al Ayyubi ini. Perayaan
Maulid ini kembali dihidupkan di Mesir pada masa Mamalik, pada tahun
922 H oleh khalifah Qanshuh Al Ghauri. Kemudian, tahun berikutnya 923 H
ketika Orang-Orang Turki Utsmani memasuki Mesir maka mereka meniadakan
Maulid ini. Namun setelah itu muncul kembali. Demikian yang dikatakan
oleh Ibnu Iyas.
Ketiga:
Di Irak. Kemudian di awal abad ke-7 H perayaan Maulid menjadi acara
resmi di kota Arbil, melalui Sultan Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn
Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin. Dia seorang Sunni (bukan Syi’ah seperti
Bani Ubaid Fatimiyyin). Dia membuat kubah-kubah di awal bulan Shafar,
dan menghiasinya dengan seindah mungkin. Di hari itu, dimeriahkan dengan
nyanyian, musik dan hiburan qarquz, Gubernur menjadikannya
sebagai hari libur nasional, agar mereka bisa menonton berbagai hiburan
ini. Kubah-kubah kayu berdiri kokoh dari pintu benteng sampai pintu Al
Khanqah. Setiap hari setelah shalat ashar Muzhaffaruddin turun
mengunjungi setiap kubah, mendengarkan irama musik dan melihat segala
yang ada di sana. Ia membuat perayaan Maulid pada satu tahun pada bulan
ke delapan, dan pada tahun yang lain pada bulan ke 12. Dua hari sebelum
Maulid ia mengeluarkan onta, sapi dan kambing. Hewan ternak itu diarak
dengan jidor menuju lapangan untuk disembelih sebagai hidangan bagi
masyarakat.
Referensi
- http://filsafat.kompasiana.com/2013/01/24/maulid-nabi-muhammad-saw-sebagai-teladan-dalam-mencari-pemimpin-bangsa-527517.html
- http://www.fimadani.com/sejarah-perayaan-maulid-nabi-muhammad/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar